Sejarah Sepatu Fladeo




Terlahir dari keluarga pengusaha di daerah Aceh, darah bisnis secara alami mengalir di nadi Onnes, yang terlahir 25 Februari 1963 di Sabang. “Waktu itu, Aceh adalah free port. Jadi Bapak saya import barang-barang karena murah, kenang Onnes.

Sejak 1983, Onnes mulai merantau ke Jakarta. Sebenarnya ia sempat mengambil kuliah manajemen di Universitas Tarumanegara. Namun ia hanya sanggup bertahan di semester pertama. “Malas sekolah, lebih suka kerja ikut teman-teman, ujar Onnes terkekeh.

Saat itu ternyata usaha orang tuanya pailit, seiring dengan berakhirnya era pelabuhan bebas pajak di Aceh. Ia lantas bekerja serabutan, hingga akhirnya ada 1993, ia mulai bekerja di perusahaan sepatu milik kakaknya. Onnes bantu semua hal, dari belanja bahan baku, pengiriman, sampai produksi juga,” beber anak keempat dari tujuh bersaudara itu.

Perusahaan milik sang kakak masih berskala kecil. Perajinnya Cuma sekitar 10 orang. Tapi, di sinilah Onnes belajar segala hal tentang sepatu. Dari sini pula, mantan atlit bulutangkis muda asal Aceh ini jatuh hati dengan dunia sepatu.


Berawal dari Maklum

Ketika kakaknya beralih ke bisnis melanin, Onnes justru memutuskan untuk memulai bisnis sepatunya sendiri pada 1993. Dengan relasi yang sudah ia bangun sejak masih bekerja dengan sang kakak, ia bisa dengan cukup mulus memasok sepatu untuk Matahari. “Waktu itu masih pakai merek mereka, Nevada,” ujarnya.

Pada awal-awal usahanya, Onnes juga sempat menerima pesanan sepatu dari Yongki Komaladi. Tapi Cuma satu-dua tahun, kemudian berhenti, tutur ayah dari dua orang putri dan satu putra ini.

Sebagian besar sepatu tersebut tidak ia produksi sendiri, melainkan ia lempar lagi ke pabrik sepatu lain. Onnes memang punya pabrik sendiri sejak 1994, tapi produksinya tidak banyak. Saat itu pekerjanya hanya lima orang perajin. Hingga kini, ada yang masih bekerja di pabrik Onnes.

Berkat keseriusan Onnes dalam menjaga keseriusan Onnes dalam menjaga kualitas mulai dari bahan baku hingga hasil akhir, bisnis sepatunya terus melaju. Bahkan pada 1995, ia sempat mengekspor sepatunya ke Timur Tengah dan Korea. Waktu itu, China belum ada apa-apanya.

Selang waktu Onnes ingin memiliki brand sendiri. Pasalnya, ia sering tidak puas lantaran manajer produk peritel yang ia pasok menolak model baru yang ia sodorkan. Padahal ia yakin, model tersebut bakal disukai pasar. Dengan memiliki brand sendiri, ia bisa lebih leluasa menawarkan model-model baru yang ia rasa punya potensi laku besar.


Akhirnya, pada Agustus 2000, di bawah bendera PT Mandiri Sabang AbadiOnnes meluncurkan merek sendiri. Fladeo ia pilih sebagai nama. “Adik saya ada anak laki namanya Deo. Terus saya tambahin Fla, untuk ceweknya. Jadi sepatu cowok dan cewek Fladeo,tutur Onnes

Lagi-lagi, relasi baiknya dengan manajemen Matahari memuluskan langkahnya. Sebagai awal, Onnes bisa memajang produk sepatunya di tiga gerai Matahari. “Karena penjualannya sangat bagus, tambah lagi 10 gerai,” imbuh pria yang telah memiliki seorang cucu ini.Mengekor Matahari

Lantaran ikatan kontrak dengan Matahari itu, jumlah outlet Fladeo juga berkembang seiring dengan penambahan gerai Matahari, dan brand Fladeo pun melekat kuat dengan Matahari. “Saya gak kebayang, gimana nanti pusingnya kalau Matahari punya 500 gerai " Tutur Onnes.

Musim ramai hanya menjelang lebaran dan tahun ajaran baru sekolah. Natal dan tahun baru juga cukup baik. Sementara pada bulan sepi, menurut Onnes, penjualan sepatu dari semua gerai kadang tidak terlalu banyak.

Onnes mesti pintar-pintar membaca selera pasar agar tidak salah menaruh barang. “Karena setiap daerah bisa lain selera masyarakatnya", ujar dia. Apalagi, peritel menerapkan sistem konsinyasi, alias bayar di belakang.

Pengalaman pahit Onnes lainnya adalah saat kerusuhan Mei 1998. Sekitar 2.000 pasang sepatu yang ia simpan di rumahnya habis dijarah massa. Beruntung, pabriknya selamat. Alhasil, Onnes justru bisa memproduksi sepatu di saat produsen lain tak sanggup. “Saya jual di Jatinegara, jual bayar tunai,” ceritanya sambil tertawa.

Ia pun gampang mendapat pinjaman modal dari BCA. Meski bunga saat itu mencapai 60%, ia bisa gampang membayarnya karena barangnya cepat laku.

meskipun telah sukses, Onnes masih berburu sendiri model-model sepatu terbaru di Hong Kong dan Singapura. “Pernah bawa 15 koper, sampai ditahan oleh bea cukai, diminta bayar bea masuk,” tutur dia.


Komentar

Postingan Populer